MAKALAH KESENJANGAN SOSIAL
ISBD (Ilmu Sosial dan Bdaya Dasar)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kesenjangan sosial merupakan sesuatu yang menjadi pekerjaan bagi pemerintah
yang butuh perhatian yang lebih. Kesenjangan sosial yang terjadi dalam
masyarakat sangatlah mencolok dan makin memprihatinkan yang perlu di bahas
serta dicari penyebab-penyebab terjadinya suatu kesenjangan sosial. Kesenjangan
sosial yang muncul dalam masyarakat perlunya sebuah keberanian dalam
pengungkapanpannya. Sehingga kesenjangan sosial menjadi topik yang menarik serta bagus untuk dipaparkan dalam
pengambilan judul ini.
Pendidikan menjadi hal yang
paling sering menjadi sorotan, karena lewat pendidikanlah sesuatu perubahan
dimulai. Penciptaan generasi muda yang memiliki kemampuan ilmu pengetahuan yang
dengan ilmu pengetahuan itu dapat melakukan pembangunan di segala bidang merupakan
alasan umum mengapa pendidikan menjadi begitu penting.
Ironinya yang justru
terjadi dengan pendidikan di Negara kita yang begitu luas ini adalah pendidikan
tidak merata ke seluruh penjuru nusantara. Di era pembangunan yang sedang
gencar-gencarnya ini, kesenjangan masih dirasakan oleh wilayah-wilayah di Indonesia
yang berada jauh dari jangkauan pemerintah pusat. Wilayah Indonesia yang secara
garis besar dapat dibagi menjadi 2 kawasan yaitu kawasan barat dan kawasan
timur, dimana letak pemerintahan pusat berada di kawasan barat membuat
kesenjangan dalam banyak bidang antara kawasan barat yang dianggap sebagai
pusat pemerintahan dan pusat pembangunan dengan kawasan timur Indonesia yang
cenderung sulit dijangkau dari pusat pemerintahan. Berdasarkan data yang pernah
di peroleh Kementrian Daerah Tertinggal, dari 183 daerah tertinggal di
Indonesia, 70% berada di kawasan timur Indonesia.
Kesenjangan yang terjadi di
Indonesia dapat terlihat dari beberapa indikator, diantaranya angka putus
sekolah menengah pertama (SMP) tertinggi tahun ini terjadi di Provinsi Sulawesi
Barat yang tidak lain terletak di kawasan Indonesia timur. Kondisi ini terjadi
karena selain kekurangan biaya, juga jumlah sekolah yang terbatas sebagai
sarana pendidikan para siswa. Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat
pendidikan di SMP merupakan bagian dari program wajib belajar 9 tahun. Bila
dilihat dari angka ketidaklulusan SMP tahun 2010, provinsi yang menduduki dua
peringkat tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur dengan angka ketidaklulusan mencapai
39.87% dan Gorontalo dengan angka 38.80%. Untuk angka mengulang ujian nasional
atau ketidaklulusan tingkat SMA dan sederajat, kedua provinsi ini juga tetap
menjadi yang tertinggi, dengan angka 52.08% untuk Nusa Tenggara Timur, 46.22%
untuk Gorontalo.
B.
Perumusan Masalah
Kesenjangan sosial sering terjadi dalam masyarakat dan akhir-akhir ini
sangatlah mencolok (sangat kelihatan
dengan nyata). Kesenjangan sosial yang ada di masyarakat pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kesenjangan
Kesenjangan sosial adalah distribusi yang tidak merata (ketidak adilan dan
ketidaksetraaan) yang dialami oleh individu dan kelompok yang dianggap penting
dalam suatu masyarakat dan penilaian yang tidak sama dan pengecualian
berdasarkan posisi sosial dan gaya hidup. Juga, hak dan kewajiban tidak
didistribusikan secara merata atau ketidaksamaan akses untuk
mendapatkan atau memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumber daya bisa berupa kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan,
perumahan, peluang berusaha dan kerja, dapat pula
berupa
kebutuhan sekunder, seperti sarana pengembangan usaha, sarana perjuangan hak
azasi, sarana saluran politik, pemenuhan pengembangan karir, dan lain-lain.
Sedangkan menurut KBBI
(kamus besar bahasa Indonesia) kesenjangan berasal dari kata “senjang” yang
berarti 1 tidak simetris atau tidak sama bagian yg di kiri dan yg di
kanan (tt ukiran dsb); genjang; 2 berlainan sekali; berbeda; 3
ada (terdapat) jurang pemisah;.
ke·sen·jang·an n 1 perihal (yg bersifat, berciri)
senjang; ketidakseimbangan; ketidaksimetrisan; 2 jurang pemisah:-
antara si kaya dan si miskin semakin lebar
Kesenjangan sosial dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat,
sehingga mencegah dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan akses atau
kesempatan-kesempatan yang tersedia. Secara teoritis sekurang-kurangnya ada dua
faktor yang menghambat.
1.
faktor-faktor yang berasal dari
dalam diri seseorang (faktor internal), yaitu rendahnya kualitas sumber
daya manusia karena tingkat pendidikan/keterampilan atau kesehatan rendah atau
ada hambatan budaya (budaya kemiskinan). Kesenjangan sosial dapat muncul
sebagai akibat dari nilai-nilai kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang
itu sendiri. Akibatnya, nilai-nilai luas,
seperti
apatis, cenderung menyerah pada nasib,
tidak mempunyai daya juang, dan tidak mempunyai orientasi kehidupan masa depan.
Dalam penjelasan Lewis (1969), kesenjangan sosial tipe ini muncul karena
masyarakat itu terkungkung dalam kebudayaan kemiskinan.
2. Faktor-faktor yang berasal dari luar kemampuan seseorang (faktor
eksternal), hal ini dapat terjadi karena birokrasi atau ada peraturan-peraturan resmi
(kebijakan), sehingga dapat membatasi atau memperkecil akses seseorang untuk
memanfaatkan kesempatan dan peluang yang tersedia. Kesenjangan yang
terjadi ditengah-tengah masyarakat adalah disebabkan oleh adanya perbedaan yang
mencolok antara satu individu dengan individu yang lain, atau antara satu kelompok
masyarakat dengan kelompok masyarakat lain.
Perbedaan itu antara lain misalnya
antara si kaya dan si miskin atau antara si pintar dan si bodoh. Yang mana
perbedaan itu kelihatan mencolok dan menimbulkan masalah dalam penanganannya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa pengertian daripada kesenjangan sosial adalah "jarak" yang
terjadi ditengah-tengah masyarakat disebabkan oleh perbedaan status sosial,
maupun status ekonomi yang ada ditengah-tengah masyarakat (Pendidikan).
Pemerintah memang tidak
henti-hentinya memberikan kebijakan demi kemajuan pendidikan, namun kebijakan
demi kebijakan seakan hanya menjadi oase di tengah padang pasir yang
kesejukannya hanya sesaat saja. Dalam praktiknya, pendidikan tetap menjadi
masalah yang krusial bagi bangsa ini, terkhusus pendidikan di daerah 3T,
tertinggal, terpencil, dan terbelakang.
B.
Faktor-Fakor yang Menyebabkan Kesenjangan Pendidikan
Antar Daerah
Dalam materi Kesenjangan
Pendidikan Antar Daerah di Indonesia. Faktor-faktor yang menyebabkan
kesenjangan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Faktor Sumber Daya Manusia
Guru sebagai pilar penunjang terselenggarannya suatu
sistem pendidikan, merupakan salah satu komponen strategis yang juga perlu
mendapatkan perhatian oleh negara. Misalnya dalam hal penempatan guru, bahwa
hingga sekarang ini jumlah guru dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah
sendiri masih sangat kurang.
Pada hakikatnya, secara kuantitas jumlah guru yang
mengabdi di daerah yang terkategori daerah tertinggal ini merupakan aset
daerah. Saat ini terjadi ketimpangan kompetensi yang cukup mencolok pada guru
di daerah tertinggal. Banyak guru yang mengajar di sekolah-sekolah terpencil
dengan tidak terstruktur dan mengabaikan teori-teori pembelajaran efektif.
Fenomena ini dapat dimengerti karena memang upaya peningkatan kompetensi guru
tidak dijadikan sebagai salah satu solusi yang diprioritaskan khususnya dalam
pembangunan pendidikan. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh
pelatihan atau upaya-upaya peningkatan mutu guru itu sendiri, sehingga ini berkorelasi
erat dengan kemampuan mengajarnya di sekolah.
2. Faktor Infrastruktur
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu
faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan
adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak,
maka proses pendidikan tidak dapat berlangsung secara efektif.
Aspek sarana dan prasarana yang berkaitan dengan
tercapainya pendidikan tidak hanya jumlah dan kondisi gedung sekolah atau
tempat-tempat pendidikan, tetapi juga akses menuju tempat pendidikan tersebut
yang dalam hal ini berupa kondisi jalan sehingga menghambat penyaluran bantuan
dari pemerintah seperti buku-buku pelajaran ke daerah yang sulit dijangkau.
3. Kinerja dan Kesejahteraan Guru Belum Optimal
Kesejahteraan guru merupakan aspek penting yang harus
diperhatikan oleh pemerintah dalam menunjang terciptanya kinerja yang semakin
membaik di kalangan pendidik. Berdasarkan UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen,
pasal 14 sampai dengan 16 menyebutkan tentang Hak dan Kewajiban diantaranya,
bahwa hak guru dalam memperoleh penghasilan adalah di atas kebutuhan hidup
minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, mendapatkan promosi dan penghargaan,
berbagai fasilitas untuk meningkatkan kompetensi, berbagai tunjangan seperti
tunjangan profesi, fungsional, tunjangan khusus bagi guru di daerah khusus,
serta berbagai maslahat tambahan kesejahteraan.
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam
membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII
(Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya
seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang,
pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460
ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan
pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan
sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari,
menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa
ponsel, dan sebagainya (Republika, 13
Juli, 2005). Permasalahan kesejahteraan guru biasanya akan berimplikasi
pada kinerja yang dilakukannya dalam melaksanakan proses pendidikan.
Guru sebagai tenaga kependidikan juga memiliki peran
yang sentral dalam penyelenggaraan suatu sistem pendidikan. Sebagai sebuah
pekerjaan, tentu dengan menjadi seorang guru juga diharapkan dapat memperoleh
kompensasi yang layak untuk kebutuhan hidup. Dalam teori motivasi, pemberian
reward dan punishment yang sesuai merupakan perkara yang dapat mempengaruhi
kinerja dan mutu dalam bekerja, termasuk juga perlunya jaminan kesejahteraan
bagi para pendidik agar dapat meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan yang
selama ini masih terpuruk. Dalam hal tunjangan, sudah selayaknya guru
mendapatkan tunjangan yang manusiawi untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya
mengingat peranan dari seorang guru yang begitu besar dalam upaya mencerdaskan
suatu generasi.
4. Proses Pembelajaran Yang Konvensional
Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini
sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang
ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana,
serta kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif.
Dalam PP No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan
disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan,
bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya
perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien
dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses
pembelajaran yang dilakukan antara peserta didik dengan pendidik seharusnya
harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional sehingga dapat
mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.
Sudah selayaknya profesi sebagai seorang pendidik
membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara intelektual-akademik,
sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya berlandaskan pada sebuah
kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai
pendidik senantiasa dapat mengembangkan model-model pembelajaran yang efektif,
inovatif, dan relevan.
5. Jumlah dan Kualitas Buku Yang Belum Memadai
Ketersediaan buku yang berkualitas merupakan salah satu
prasarana pendidikan yang sangat penting dibutuhkan dalam menunjang
keberhasilan proses pendidikan. Sebagaimana dalam PP No 19/2005 tentang SNP
dalam pasal 42 tentang Standar Sarana dan Prasarana disebutkan bahwa setiap
satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan
pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis
pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (ayat 1).
Secara teknis, pengadaan buku pelajaran di sekolah tidak
lagi boleh dilakukan oleh sekolah dengan menjual buku-buku kepada siswa secara
bebas, melainkan harus sesuai dengan buku sumber yag direkomendasikan oleh pemerintah.
6. Masih Terjadinya Konflik di Berbagai Wilayah.
Dalam beberapa tahun terakhir, di beberapa daerah
terjadi konflik antar pemeluk agama, suku, dan golongan. Faktor penyebab
konflik antara lain adalah karena adanya kesenjangan ekonomi, sosial, dan tidak
terpenuhinya hak-hak politik masyarakat di wilayah tersebut. Berbagai upaya
telah dilakukan sehingga pada saat ini konflik-konflik horisontal itu telah
mereda. Namun demikian dibeberapa daerah potensi konflik masih ada. Konflik
juga mebuat proses pendidikan di daerah menjadi terhambat sehingga tertinggal
dari daerah non konflik.
7. Lemahnya kemampuan sistem pendidikan nasional
Sebagai suatu sistem, pendidikan nasional belum memiliki
kemampuan cukup untuk memberikan layanan terbaik bagi masyarakatnya. Struktur
dari sistem yang baru belum jelas, budaya pendukungnya juga belum jelas,
inkonsistensi dalam peraturan perundangan masih mungkin terjadi. Apabila peran
pendidikan itu sendiri masih belum jelas, tentu saja sistem yang relevan dengan
antisipasi perkembangan sosial-budaya masyarakat, perekonomian dan struktur
ketenagakerjaannya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tatanan
politik masyarakat yang demokratis, masih membutuhkan pemikiran yang mendasar.
8. Keterbatasan
Anggaran
Ketersediaan anggaran yang memadai dalam penyelenggaran
pendidikan sangat mempengaruhi keberlangsungan penyelenggaraan tersebut.
Ketentuan anggaran pendidikan tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas
dalam pasal 49 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan yang menyatakan bahwa Dana
pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor
pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
(ayat 1).
Permasalahan lainnya yang juga penting untuk
diperhatikan adalah alasan pemerintah untuk berupaya merealisasikan anggaran
pendidikan 20% secara bertahap karena pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk
mengalokasikan 20% secara sekaligus dari APBN/APBD. Padahal kekayaan sumber
daya alam baik yang berupa hayati, sumber energi, maupun barang tambang
jumlahnya melimpah sangat besar. Tetapi karena selama ini penanganannya secara
kapitalistik maka return dari kekayaan tersebut malah dirampas oleh para ahli
pemilik modal sehingga pemabnagunan di daerah daerah menjadi tidak merata dan
timbullah kesenjangan.
9. Pendidikan Yang Belum Berbasis Pada Masyarakat dan
Potensi Daerah
Struktur kurikulum yang ditetapkan berdasarkan UU
No.20/2003 dalam Pasal 36 tentang Kurikulum menyebutkan:
a) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
b) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan,
potensi daerah, dan peserta didik.
c) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
·
peningkatan iman dan
takwa;
·
peningkatan akhlak
mulia;
·
peningkatan potensi,
kecerdasan, dan minat peserta didik;
·
keragaman potensi
daerah dan lingkungan;
·
tuntutan pembangunan
daerah dan nasional;
·
tuntutan dunia
kerja;
·
perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni;
·
agama;
·
dinamika
perkembangan global; dan
·
persatuan nasional
dan nilai-nilai kebangsaan.
d) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Dalam PP No.19/2005 antara lain dalam pasal 6 yang
menyebutkan:1) kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas kelompok mata pelajaran
agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan akhlak mulia, ilmu pengetahuan dan
teknologi, estetika, jasmani, olahraga dan kesehatan. 6). Kurikulum dan silabus
SD/MI/SDLB/Paket A, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya
kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis. Kecakapan berhitung, serta
kemampuan berkomunikasi.
Masyarakat
dan lingkungan tempat tinggal merupakan bagian yang terintegrasi dengan siswa
sebagai peserta didik. Proses pendidikan yang sebenarnya tentu melibatkan
peranan keluarga, lingkungan-masyarakat dan sekolah, sehingga jika salah
satunya tidak berjalan dengan baik maka dapat mempengaruhi keberlangsungan pendidikan
itu sendiri.
Belum Optimalnya Kemitraan Dengan Dunia
Usaha/ Dunia Industri.
Berkaitan dengan peranan
masyarakat dalam pendidikan dalam UU No.20/2005 Sisdiknas pasal 54 tentang
Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan menyebutkan :
1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran
serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan
organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan.
2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana,
dan pengguna hasil pendidikan.
3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Hal yang justru memunculkan
kerawanan saat ini adalah dengan adanya RUU BHP maka peranan pihak swasta
(pengusaha) mendapatkan akses yang lebih luas untuk mengelola pendidikan,
sehingga bagaimana jadinya kalau kemitraan dengan DU/DI tersebut ternyata
menempatkan pengusaha ataupun perusahaan sebagai pihak yang berinvestasi dalam lembaga
pendidikan dengan menuntut adanya return yang sepadan dari investasinya
tersebut? Kondisi ini pada akhirnya akan memperkokoh keberlangsungan
kapitalisasi pendidikan.
C.
Upaya Mengatasi Kesenjangan Pendidikan Antar Daerah
1. Otonomi Daerah
Diperlukan asas dalam mengelola daerah yang meliputi
desentalisasi pelayanan publik/rakyat dan dekonsentrasi. Untuk memudahkan
pelayanan pendidikan kepada rakyat/publik, otonomi daerah dapat digunakan.
Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya otonomi
daerah, akan tercipta suatu otonomi pendidikan yang mampu mengatur sistem
pendidikan di suatu daerah sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing.
Indonesia dikenal dengan pluralisme, sehingga sudah
saatnya setiap daerah melaksanakan program pendidikan yang terbaik untuk
daerahnya. Sedangkan pemerintah pusat membuat regulasi dan memberikan pengawasan
serta bertanggung jawab sepenuhnya bagi terlaksana pendidikan nasional tersebut
sebaik mungkin. Otonomi pendidikan sangat tepat dilaksanakan, karena persoalan
serta kendala terlaksananya program pendidikan di setiap daerah pada umumnya
berbeda-beda. Otonomi pendidikan harus dilakukan, mengingat kualitas guru,
sarana dan prasarana sekolah di setiap daerah juga berbeda-beda. Dengan otonomi
pendidikan yang dilakukan di setiap daerah, pendidikan di setiap daerah akan
semakin berkembang.
Di daerah yang sudah maju seperti di kota-kota besar
yang berada di Pulau Jawa yang letaknya dekat pusat pemerintahan Indonesia,
sistem pendidikannya berkembang dengan pesat. Sekolah-sekolah umum negeri
memiliki fasilitas pendidikan yang memadai dan akses pendidikan yang baik dan
mudah. Sistem pendidikan yang diterapkanpun beragam dan dianggap sesuai dengan
perkembangan zaman yang menuntut kompetensi yang baik. Sekolah internasional,
homeschooling dan sekolah umum negeri yang memiliki sistem pendidikan yang maju
seperti kelas internasional dan akselarasi ditawarkan. Setiap orang tua dapat
dengan mudah memilih sekolah yang diinginkan denagn sistem pendidikan yang
paling tepat atau dianggap cocok untuk anak-anaknya.
Sementara
itu, di daerah yang terpencil, masih banyak anak yang masih belum mendapatkan
pendidikan dengan baik karena kekurangan guru, ruang kelas yang tidak layak dan
akses ke sekolah yang sulit ditempuh. Jangankan untuk mengembangkan sistem
pendidikan di sekolah, untuk memperbaiki gedung saja dananya tidak ada. Jika hanya
mengandalkan perhatian pemerintah pusat, keadaan ini akan terus berlangsung.
Oleh karena itu perlu adanya otonomi pendidikan di daerah.
2. Pengembangan sistem perencanaan berdasarkan kebutuhan
dan ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan;
3. Pengembangan sistem dan mekanisme rekrutmen dan
penempatan pendidik dan tenaga kependidikan yang merata secara geografis, tepat
jumlah, tepat kualifikasi/keahlian, dan gender.
4. Peningkatan jumlah pendidik di wilayah/daerah yang
kekurangan.
Seperti pengaturan mekanisme
penempatan dan redistribusi guru, penambahan guru baru, perubahan status
pendidik dari satu jenjang ke jenjang lain, integrasi guru/tutor mata pelajaran
sejenis, pola insentif guru di daerah terpencil, memberikan bantuan bagi guru
tidak tetap (GTT) swasta, pengawas/penilik/pamong belajar, dan guru daerah
terpencil.
5. Perluasan jurusan LPTK pada bidang yang masih kekurangan
seperti guru MIPA, Bahasa Inggris dan teknologi kejuruan;
6. Penambahan jumlah tenaga kependidikan secara
proporsional.
Seperti pengawas sekolah,
penilik, pegawai tata-usaha, laboran, pustakawan, pengembang sumber belajar,
arsiparis, operator komputer, dsb, melalui penambahan tenaga baru, penempatan
tenaga non-kependidikan menjadi tenaga kependidikan di sekolah atau lembaga
pendidikan lain
7. Pemberian disinsentif pada pendidik yang melanggar etika
profesi.
Dalam rangka pemerataan dan
perluasan akses, dilakukan pengadaan guru. Untuk meningkatkan daya tarik
penempatan guru di daerah-daerah sulit, perlu dibentuknya suatu program
penataran (upgrading) bagi guru-guru yang sudah ada (SD/MI) agar mereka
memiliki kesempatan untuk mengajar di SMP atau sekolah-sekolah layanan
khusus pada SMP Khusus.
8. Pengembangan pola manajemen pendidik dan tenaga
kependidikan yang mandiri dan berbeda dengan pola manajemen birokratis.
Pola manajemen ini
diharapkan akan dapat mereposisi guru dari posisi periperal, yaitu posisi di
kawasan pinggiran atau terpinggirkan, menuju posisi sentral, memberikan
perlindungan hukum yang pasti dalam profesi, kesejahteraan, jaminan sosial, hak
dan kewajiban.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Kesenjangan
sosial adalah distribusi yang tidak merata (ketidak adilan dan ketidaksetraaan)
yang dialami oleh individu dan kelompok yang dianggap penting dalam suatu
masyarakat dan penilaian yang tidak sama dan pengecualian berdasarkan posisi
sosial dan gaya hidup. Dimana kesenjangan
Pendidikan depat terjadi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Faktor Sumber Daya Manusia.
2. Faktor Infrastruktur.
3. Kinerja dan Kesejahteraan Guru Belum Optimal.
4. Proses Pembelajaran Yang Konvensional.
5. Jumlah dan Kualitas Buku Yang Belum Memadai.
6. Masih Terjadinya Konflik di Berbagai Wilayah.
7. Lemahnya kemampuan sistem pendidikan nasional.
8. Keterbatasan Anggaran.
9. Pendidikan Yang Belum Berbasis Pada Masyarakat dan
Potensi Daerah.
Dan dari faktur-faktor tersebut perlulah
penanganan yang tepat agar kesenjangan sosial tidak terjadi berlarut-larut di
Negara ini, terutama di bidang Pendidikan yang mana Pendidikan adalah hal yang
terpenting untuk Kemajuan dan Kualitas NKRI.
Saran
Saran untukk pembaca
Setelah membaca makalah ini di harapkan para
pembaca bisa mengerti dan mengatasi Kesenjangan yang terjadi di lingkungan masing-masing.