Halaman

Selasa, 26 Februari 2013

Contoh Makalah Kesenjangan Sosial - ISBD


MAKALAH KESENJANGAN SOSIAL
ISBD (Ilmu Sosial dan Bdaya Dasar)





BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Kesenjangan sosial merupakan sesuatu yang menjadi pekerjaan bagi pemerintah yang butuh perhatian yang lebih. Kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat sangatlah mencolok dan makin memprihatinkan yang perlu di bahas serta dicari penyebab-penyebab terjadinya suatu kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial yang muncul dalam masyarakat perlunya sebuah keberanian dalam pengungkapanpannya. Sehingga kesenjangan sosial menjadi topik yang menarik serta bagus untuk dipaparkan dalam pengambilan judul ini.
Pendidikan menjadi hal yang paling sering menjadi sorotan, karena lewat pendidikanlah sesuatu perubahan dimulai. Penciptaan generasi muda yang memiliki kemampuan ilmu pengetahuan yang dengan ilmu pengetahuan itu dapat melakukan pembangunan di segala bidang merupakan alasan umum mengapa pendidikan menjadi begitu penting.
Ironinya yang justru terjadi dengan pendidikan di Negara kita yang begitu luas ini adalah pendidikan tidak merata ke seluruh penjuru nusantara. Di era pembangunan yang sedang gencar-gencarnya ini, kesenjangan masih dirasakan oleh wilayah-wilayah di Indonesia yang berada jauh dari jangkauan pemerintah pusat. Wilayah Indonesia yang secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 kawasan yaitu kawasan barat dan kawasan timur, dimana letak pemerintahan pusat berada di kawasan barat membuat kesenjangan dalam banyak bidang antara kawasan barat yang dianggap sebagai pusat pemerintahan dan pusat pembangunan dengan kawasan timur Indonesia yang cenderung sulit dijangkau dari pusat pemerintahan. Berdasarkan data yang pernah di peroleh Kementrian Daerah Tertinggal, dari 183 daerah tertinggal di Indonesia, 70% berada di kawasan timur Indonesia.
Kesenjangan yang terjadi di Indonesia dapat terlihat dari beberapa indikator, diantaranya angka putus sekolah menengah pertama (SMP) tertinggi tahun ini terjadi di Provinsi Sulawesi Barat yang tidak lain terletak di kawasan Indonesia timur. Kondisi ini terjadi karena selain kekurangan biaya, juga jumlah sekolah yang terbatas sebagai sarana pendidikan para siswa. Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat pendidikan di SMP merupakan bagian dari program wajib belajar 9 tahun. Bila dilihat dari angka ketidaklulusan SMP tahun 2010, provinsi yang menduduki dua peringkat tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur dengan angka ketidaklulusan mencapai 39.87% dan Gorontalo dengan angka 38.80%. Untuk angka mengulang ujian nasional atau ketidaklulusan tingkat SMA dan sederajat, kedua provinsi ini juga tetap menjadi yang tertinggi, dengan angka 52.08% untuk Nusa Tenggara Timur, 46.22% untuk Gorontalo.

B.   Perumusan Masalah
Kesenjangan sosial sering terjadi dalam masyarakat dan akhir-akhir ini sangatlah mencolok (sangat kelihatan dengan nyata). Kesenjangan sosial yang ada di masyarakat pendidikan.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Kesenjangan
Kesenjangan sosial adalah distribusi yang tidak merata (ketidak adilan dan ketidaksetraaan) yang dialami oleh individu dan kelompok yang dianggap penting dalam suatu masyarakat dan penilaian yang tidak sama dan pengecualian berdasarkan posisi sosial dan gaya hidup. Juga, hak dan kewajiban tidak didistribusikan secara merata atau ketidaksamaan akses untuk mendapatkan atau memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumber daya bisa berupa kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, peluang berusaha dan kerja, dapat pula berupa kebutuhan sekunder, seperti sarana pengembangan usaha, sarana perjuangan hak azasi, sarana saluran politik, pemenuhan pengembangan karir, dan lain-lain.
Sedangkan menurut KBBI (kamus besar bahasa Indonesia) kesenjangan berasal dari kata “senjang” yang berarti 1 tidak simetris atau tidak sama bagian yg di kiri dan yg di kanan (tt ukiran dsb); genjang; 2 berlainan sekali; berbeda; 3 ada (terdapat) jurang pemisah;.
ke·sen·jang·an n 1 perihal (yg bersifat, berciri) senjang; ketidakseimbangan; ketidaksimetrisan; 2 jurang pemisah:- antara si kaya dan si miskin semakin lebar

Kesenjangan sosial dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat, sehingga mencegah dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan akses atau kesempatan-kesempatan yang tersedia. Secara teoritis sekurang-kurangnya ada dua faktor yang menghambat.
1.    faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang (faktor internal), yaitu rendahnya kualitas sumber daya manusia karena tingkat pendidikan/keterampilan atau kesehatan rendah atau ada hambatan budaya (budaya kemiskinan). Kesenjangan sosial dapat muncul sebagai akibat dari nilai-nilai kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang itu sendiri. Akibatnya, nilai-nilai luas, seperti apatis, cenderung menyerah pada nasib, tidak mempunyai daya juang, dan tidak mempunyai orientasi kehidupan masa depan. Dalam penjelasan Lewis (1969), kesenjangan sosial tipe ini muncul karena masyarakat itu terkungkung dalam kebudayaan kemiskinan.
2.    Faktor-faktor yang berasal dari luar kemampuan seseorang (faktor eksternal), hal ini dapat terjadi karena birokrasi atau ada peraturan-peraturan resmi (kebijakan), sehingga dapat membatasi atau memperkecil akses seseorang untuk memanfaatkan kesempatan  dan peluang yang tersedia. Kesenjangan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat adalah disebabkan oleh adanya perbedaan yang mencolok antara satu individu dengan individu yang lain, atau antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain.
Perbedaan itu antara lain misalnya antara si kaya dan si miskin atau antara si pintar dan si bodoh. Yang mana perbedaan itu kelihatan mencolok dan menimbulkan masalah dalam penanganannya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian daripada kesenjangan sosial adalah "jarak" yang terjadi ditengah-tengah masyarakat disebabkan oleh perbedaan status sosial, maupun status ekonomi yang ada ditengah-tengah masyarakat (Pendidikan).
Pemerintah memang tidak henti-hentinya memberikan kebijakan demi kemajuan pendidikan, namun kebijakan demi kebijakan seakan hanya menjadi oase di tengah padang pasir yang kesejukannya hanya sesaat saja. Dalam praktiknya, pendidikan tetap menjadi masalah yang krusial bagi bangsa ini, terkhusus pendidikan di daerah 3T, tertinggal, terpencil, dan terbelakang.


B.   Faktor-Fakor yang Menyebabkan Kesenjangan Pendidikan Antar Daerah
Dalam materi Kesenjangan Pendidikan Antar Daerah di Indonesia. Faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan tersebut adalah sebagai berikut.

1.    Faktor Sumber Daya Manusia
Guru sebagai pilar penunjang terselenggarannya suatu sistem pendidikan, merupakan salah satu komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian oleh negara. Misalnya dalam hal penempatan guru, bahwa hingga sekarang ini jumlah guru dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang.
Pada hakikatnya, secara kuantitas jumlah guru yang mengabdi di daerah yang terkategori daerah tertinggal ini merupakan aset daerah. Saat ini terjadi ketimpangan kompetensi yang cukup mencolok pada guru di daerah tertinggal. Banyak guru yang mengajar di sekolah-sekolah terpencil dengan tidak terstruktur dan mengabaikan teori-teori pembelajaran efektif. Fenomena ini dapat dimengerti karena memang upaya peningkatan kompetensi guru tidak dijadikan sebagai salah satu solusi yang diprioritaskan khususnya dalam pembangunan pendidikan. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh pelatihan atau upaya-upaya peningkatan mutu guru itu sendiri, sehingga ini berkorelasi erat dengan kemampuan mengajarnya di sekolah.
2.    Faktor Infrastruktur
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak, maka proses pendidikan tidak dapat berlangsung secara efektif.
Aspek sarana dan prasarana yang berkaitan dengan tercapainya pendidikan tidak hanya jumlah dan kondisi gedung sekolah atau tempat-tempat pendidikan, tetapi juga akses menuju tempat pendidikan tersebut yang dalam hal ini berupa kondisi jalan sehingga menghambat penyaluran bantuan dari pemerintah seperti buku-buku pelajaran ke daerah yang sulit dijangkau.

3.    Kinerja dan Kesejahteraan Guru Belum Optimal
Kesejahteraan guru merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam menunjang terciptanya kinerja yang semakin membaik di kalangan pendidik. Berdasarkan UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 sampai dengan 16 menyebutkan tentang Hak dan Kewajiban diantaranya, bahwa hak guru dalam memperoleh penghasilan adalah di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, mendapatkan promosi dan penghargaan, berbagai fasilitas untuk meningkatkan kompetensi, berbagai tunjangan seperti tunjangan profesi, fungsional, tunjangan khusus bagi guru di daerah khusus, serta berbagai maslahat tambahan kesejahteraan.
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005). Permasalahan kesejahteraan guru biasanya akan berimplikasi pada kinerja yang dilakukannya dalam melaksanakan proses pendidikan.
Guru sebagai tenaga kependidikan juga memiliki peran yang sentral dalam penyelenggaraan suatu sistem pendidikan. Sebagai sebuah pekerjaan, tentu dengan menjadi seorang guru juga diharapkan dapat memperoleh kompensasi yang layak untuk kebutuhan hidup. Dalam teori motivasi, pemberian reward dan punishment yang sesuai merupakan perkara yang dapat mempengaruhi kinerja dan mutu dalam bekerja, termasuk juga perlunya jaminan kesejahteraan bagi para pendidik agar dapat meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan yang selama ini masih terpuruk. Dalam hal tunjangan, sudah selayaknya guru mendapatkan tunjangan yang manusiawi untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya mengingat peranan dari seorang guru yang begitu besar dalam upaya mencerdaskan suatu generasi.

4.    Proses Pembelajaran Yang Konvensional
Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif.
Dalam PP No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara peserta didik dengan pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien.
Sudah selayaknya profesi sebagai seorang pendidik membutuhkan kompetensi yang terintegrasi baik secara intelektual-akademik, sosial, pedagogis, dan profesionalitas yang kesemuanya berlandaskan pada sebuah kepribadian yang utuh pula, sehingga dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik senantiasa dapat mengembangkan model-model pembelajaran yang efektif, inovatif, dan relevan.

5.    Jumlah dan Kualitas Buku Yang Belum Memadai
Ketersediaan buku yang berkualitas merupakan salah satu prasarana pendidikan yang sangat penting dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan proses pendidikan. Sebagaimana dalam PP No 19/2005 tentang SNP dalam pasal 42 tentang Standar Sarana dan Prasarana disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (ayat 1).
Secara teknis, pengadaan buku pelajaran di sekolah tidak lagi boleh dilakukan oleh sekolah dengan menjual buku-buku kepada siswa secara bebas, melainkan harus sesuai dengan buku sumber yag direkomendasikan oleh pemerintah.



6.    Masih Terjadinya Konflik di Berbagai Wilayah.
Dalam beberapa tahun terakhir, di beberapa daerah terjadi konflik antar pemeluk agama, suku, dan golongan. Faktor penyebab konflik antara lain adalah karena adanya kesenjangan ekonomi, sosial, dan tidak terpenuhinya hak-hak politik masyarakat di wilayah tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan sehingga pada saat ini konflik-konflik horisontal itu telah mereda. Namun demikian dibeberapa daerah potensi konflik masih ada. Konflik juga mebuat proses pendidikan di daerah menjadi terhambat sehingga tertinggal dari daerah non konflik.

7.    Lemahnya kemampuan sistem pendidikan nasional
Sebagai suatu sistem, pendidikan nasional belum memiliki kemampuan cukup untuk memberikan layanan terbaik bagi masyarakatnya. Struktur dari sistem yang baru belum jelas, budaya pendukungnya juga belum jelas, inkonsistensi dalam peraturan perundangan masih mungkin terjadi. Apabila peran pendidikan itu sendiri masih belum jelas, tentu saja sistem yang relevan dengan antisipasi perkembangan sosial-budaya masyarakat, perekonomian dan struktur ketenagakerjaannya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tatanan politik masyarakat yang demokratis, masih membutuhkan pemikiran yang mendasar.

8.     Keterbatasan Anggaran
Ketersediaan anggaran yang memadai dalam penyelenggaran pendidikan sangat mempengaruhi keberlangsungan penyelenggaraan tersebut. Ketentuan anggaran pendidikan tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 49 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan yang menyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (ayat 1).
Permasalahan lainnya yang juga penting untuk diperhatikan adalah alasan pemerintah untuk berupaya merealisasikan anggaran pendidikan 20% secara bertahap karena pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengalokasikan 20% secara sekaligus dari APBN/APBD. Padahal kekayaan sumber daya alam baik yang berupa hayati, sumber energi, maupun barang tambang jumlahnya melimpah sangat besar. Tetapi karena selama ini penanganannya secara kapitalistik maka return dari kekayaan tersebut malah dirampas oleh para ahli pemilik modal sehingga pemabnagunan di daerah daerah menjadi tidak merata dan timbullah kesenjangan.

9.    Pendidikan Yang Belum Berbasis Pada Masyarakat dan Potensi Daerah
Struktur kurikulum yang ditetapkan berdasarkan UU No.20/2003 dalam Pasal 36 tentang Kurikulum menyebutkan:
a)   Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
b)   Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
c)   Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
·        peningkatan iman dan takwa;
·        peningkatan akhlak mulia;
·        peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
·        keragaman potensi daerah dan lingkungan;
·        tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
·        tuntutan dunia kerja;
·        perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
·        agama;
·        dinamika perkembangan global; dan
·        persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
d)   Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam PP No.19/2005 antara lain dalam pasal 6 yang menyebutkan:1) kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan akhlak mulia, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga dan kesehatan. 6). Kurikulum dan silabus SD/MI/SDLB/Paket A, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis. Kecakapan berhitung, serta kemampuan berkomunikasi.
Masyarakat dan lingkungan tempat tinggal merupakan bagian yang terintegrasi dengan siswa sebagai peserta didik. Proses pendidikan yang sebenarnya tentu melibatkan peranan keluarga, lingkungan-masyarakat dan sekolah, sehingga jika salah satunya tidak berjalan dengan baik maka dapat mempengaruhi keberlangsungan pendidikan itu sendiri.

Belum Optimalnya Kemitraan Dengan Dunia Usaha/ Dunia Industri.
Berkaitan dengan peranan masyarakat dalam pendidikan dalam UU No.20/2005 Sisdiknas pasal 54 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan menyebutkan :
1)   Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
2)   Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
3)   Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Hal yang justru memunculkan kerawanan saat ini adalah dengan adanya RUU BHP maka peranan pihak swasta (pengusaha) mendapatkan akses yang lebih luas untuk mengelola pendidikan, sehingga bagaimana jadinya kalau kemitraan dengan DU/DI tersebut ternyata menempatkan pengusaha ataupun perusahaan sebagai pihak yang berinvestasi dalam lembaga pendidikan dengan menuntut adanya return yang sepadan dari investasinya tersebut? Kondisi ini pada akhirnya akan memperkokoh keberlangsungan kapitalisasi pendidikan.

C.   Upaya Mengatasi Kesenjangan Pendidikan Antar Daerah
1.    Otonomi Daerah
Diperlukan asas dalam mengelola daerah yang meliputi desentalisasi pelayanan publik/rakyat dan dekonsentrasi. Untuk memudahkan pelayanan pendidikan kepada rakyat/publik, otonomi daerah dapat digunakan. Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya otonomi daerah, akan tercipta suatu otonomi pendidikan yang mampu mengatur sistem pendidikan di suatu daerah sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing.
Indonesia dikenal dengan pluralisme, sehingga sudah saatnya setiap daerah melaksanakan program pendidikan yang terbaik untuk daerahnya. Sedangkan pemerintah pusat membuat regulasi dan memberikan pengawasan serta bertanggung jawab sepenuhnya bagi terlaksana pendidikan nasional tersebut sebaik mungkin. Otonomi pendidikan sangat tepat dilaksanakan, karena persoalan serta kendala terlaksananya program pendidikan di setiap daerah pada umumnya berbeda-beda. Otonomi pendidikan harus dilakukan, mengingat kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah di setiap daerah juga berbeda-beda. Dengan otonomi pendidikan yang dilakukan di setiap daerah, pendidikan di setiap daerah akan semakin berkembang.
Di daerah yang sudah maju seperti di kota-kota besar yang berada di Pulau Jawa yang letaknya dekat pusat pemerintahan Indonesia, sistem pendidikannya berkembang dengan pesat. Sekolah-sekolah umum negeri memiliki fasilitas pendidikan yang memadai dan akses pendidikan yang baik dan mudah. Sistem pendidikan yang diterapkanpun beragam dan dianggap sesuai dengan perkembangan zaman yang menuntut kompetensi yang baik. Sekolah internasional, homeschooling dan sekolah umum negeri yang memiliki sistem pendidikan yang maju seperti kelas internasional dan akselarasi ditawarkan. Setiap orang tua dapat dengan mudah memilih sekolah yang diinginkan denagn sistem pendidikan yang paling tepat atau dianggap cocok untuk anak-anaknya.
Sementara itu, di daerah yang terpencil, masih banyak anak yang masih belum mendapatkan pendidikan dengan baik karena kekurangan guru, ruang kelas yang tidak layak dan akses ke sekolah yang sulit ditempuh. Jangankan untuk mengembangkan sistem pendidikan di sekolah, untuk memperbaiki gedung saja dananya tidak ada. Jika hanya mengandalkan perhatian pemerintah pusat, keadaan ini akan terus berlangsung. Oleh karena itu perlu adanya otonomi pendidikan di daerah.
2.    Pengembangan sistem perencanaan berdasarkan kebutuhan dan ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan;
3.    Pengembangan sistem dan mekanisme rekrutmen dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan yang merata secara geografis, tepat jumlah, tepat kualifikasi/keahlian, dan gender.
4.    Peningkatan jumlah pendidik di wilayah/daerah yang kekurangan.
Seperti pengaturan mekanisme penempatan dan redistribusi guru, penambahan guru baru, perubahan status pendidik dari satu jenjang ke jenjang lain, integrasi guru/tutor mata pelajaran sejenis, pola insentif guru di daerah terpencil, memberikan bantuan bagi guru tidak tetap (GTT) swasta, pengawas/penilik/pamong belajar, dan guru daerah terpencil.
5.    Perluasan jurusan LPTK pada bidang yang masih kekurangan seperti guru MIPA, Bahasa Inggris dan teknologi kejuruan;
6.    Penambahan jumlah tenaga kependidikan secara proporsional.
Seperti pengawas sekolah, penilik, pegawai tata-usaha, laboran, pustakawan, pengembang sumber belajar, arsiparis, operator komputer, dsb, melalui penambahan tenaga baru, penempatan tenaga non-kependidikan menjadi tenaga kependidikan di sekolah atau lembaga pendidikan lain
7.    Pemberian disinsentif pada pendidik yang melanggar etika profesi.
Dalam rangka pemerataan dan perluasan akses, dilakukan pengadaan guru. Untuk meningkatkan daya tarik penempatan guru di daerah-daerah sulit, perlu dibentuknya suatu program penataran (upgrading) bagi guru-guru yang sudah ada (SD/MI) agar mereka memiliki kesempatan untuk mengajar di SMP atau sekolah-sekolah layanan khusus  pada SMP Khusus.
8.    Pengembangan pola manajemen pendidik dan tenaga kependidikan yang mandiri dan berbeda dengan pola manajemen birokratis.
Pola manajemen ini diharapkan akan dapat mereposisi guru dari posisi periperal, yaitu posisi di kawasan pinggiran atau terpinggirkan, menuju posisi sentral, memberikan perlindungan hukum yang pasti dalam profesi, kesejahteraan, jaminan sosial, hak dan kewajiban.




BAB III
PENUTUP

Simpulan
Kesenjangan sosial adalah distribusi yang tidak merata (ketidak adilan dan ketidaksetraaan) yang dialami oleh individu dan kelompok yang dianggap penting dalam suatu masyarakat dan penilaian yang tidak sama dan pengecualian berdasarkan posisi sosial dan gaya hidup. Dimana kesenjangan Pendidikan depat terjadi oleh beberapa faktor, yaitu :
1.    Faktor Sumber Daya Manusia.
2.    Faktor Infrastruktur.
3.    Kinerja dan Kesejahteraan Guru Belum Optimal.
4.    Proses Pembelajaran Yang Konvensional.
5.    Jumlah dan Kualitas Buku Yang Belum Memadai.
6.    Masih Terjadinya Konflik di Berbagai Wilayah.
7.    Lemahnya kemampuan sistem pendidikan nasional.
8.    Keterbatasan Anggaran.
9.    Pendidikan Yang Belum Berbasis Pada Masyarakat dan Potensi Daerah.
Dan dari faktur-faktor tersebut perlulah penanganan yang tepat agar kesenjangan sosial tidak terjadi berlarut-larut di Negara ini, terutama di bidang Pendidikan yang mana Pendidikan adalah hal yang terpenting untuk Kemajuan dan Kualitas NKRI.

Saran
Saran untukk pembaca
Setelah membaca makalah ini di harapkan para pembaca bisa mengerti dan mengatasi Kesenjangan yang terjadi di lingkungan masing-masing.